Ketika Wartawan Tempo Menjadi Korban Perundungan Siber

Post on 9 December 2024

Oleh Caesar Akbar

Ghoida Rahmah masih ingat betul hari-hari ketika akun media sosialnya dibanjiri komentar negatif oleh orang-orang yang tidak ia kenal pada akhir 2021. Tak hanya akun Instagram yang sering ia buka, komentar negatif itu juga masuk ke akun Twitternya—kini aplikasi tersebut bernama X.

Tak cukup masuk ke akun media sosial miliknya, pesan-pesan negatif juga membanjiri kotak pesan akun media sosial milik suaminya.“Ada yang mengkritik tulisan, sampai menghina fisik,” kata wartawan Tempo itu pada Kamis, 21 November 2024.

Ketika diusut, Ghoida menduga akun-akun tersebut membanjiri kolom komentar akun media sosialnya lantaran karya jurnalistiknya yang menyoroti permasalahan di sebuah proyek strategis nasional. Tulisan karya jurnalis bidang ekonomi itu menghiasi halaman sampul Koran Tempo kala itu.

Dalam tulisan tersebut, Ghoida menuliskan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas sebuah proyek pemerintah. Selain hasil audit, ia pun telah meminta penjelasan dari pelaksana proyek tersebut. “Jadi sebenarnya sudah cover both side, tapi tetap diserang di media sosial,” kata dia.

Setelah menyadari bahwa akun media sosialnya telah terekspos, ia pun buru-buru melaporkan situasi tersebut kepada atasannya. Setelah itu perempuan berusia 31 tahun ini langsung mengunci berbagai akun media sosial yang dia miliki.

Sebelumnya, ia memang membuka akses media sosialnya untuk khalayak ramai. Tak cukup sampai di situ, Ghoida pun mengganti nama dari akun media sosial yang dia miliki. “Sekarang sudah tidak pernah ada teror lagi karena sudah diprivate,” ujar dia.

Serangan digital yang dialami Ghoida juga sering dialami oleh pembuat konten lain. Hal ini tercatat dalam survei yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia pada Agustus 2024. Dari survei itu, kejadian yang dialami wartawan ini masuk kategori perundungan (bullying) dan intimidasi berbasis digital.

Dilansir dari laman resmi Unicef, perundungan berbasis siber kerap terjadi di media sosial terjadi di media sosial, platform perpesanan, platform game, dan ponsel. Perilaku ini biasanya dilakukan untuk menakut-nakuti, membuat marah, atau mempermalukan orang yang menjadi sasaran.

Beberapa contoh perundungan berbasis siber antara lain menyebarkan kebohongan tentang atau mengunggah foto-foto memalukan seseorang di media sosial, mengirim pesan melecehkan atau ancaman melalui platform perpesanan, hingga menyamar sebagai seseorang dan mengirimkan pesan jahat kepada orang lain atas nama mereka.

Berdasarkan survei AJI Indonesia, 38,9 persen faktor pemicu terjadinya serangan digital terhadap pembuat konten, seperti jurnalis, adalah jenis konten yang diunggah. Faktor kedua yang mendorong serangan siber ini adalah adanya relasi tertentu dengan pihak lain, misalnya figur publik atau individu yang diberitakan media.

Paling banyak, dinukil dari Laporan Riset Keamanan Digital Pembuat Konten di Indonesia itu, pelaku serangan digital tersebut dilakukan oleh orang tidak dikenal atau anonim. Selain itu, serangan juga kerap dilakukan oleh kepentingan politik tertentu, juga pengikut akun.


Bagikan