Di tengah meningkatnya represi terhadap pers mahasiswa (persma) di berbagai kampus, Makassar menjadi ruang pertemuan penting bagi para jurnalis muda dari wilayah Tengah dan Timur Indonesia. Mereka datang dari Makassar, Kendari, hingga Ternate, membawa cerita, luka, dan harapan untuk kebebasan pers yang semakin tergerus.
Dalam FGD “Tantangan Pers Mahasiswa di Wilayah Tengah dan Timur & Sosialisasi Platform JurnalismeAman.com” yang diadakan 11 November 2025, peserta mengidentifikasi berbagai pola represi yang semakin sering terjadi. Mulai dari intimidasi dan sensor kampus, penyadapan WhatsApp, perampasan gawai, pelarangan peliputan, hingga ancaman drop out. Tidak sedikit LPM yang dibekukan hanya karena memuat karya jurnalistik yang dianggap mengganggu kepentingan elite kampus.
”Fenomena ini diperparah oleh absennya perlindungan hukum yang jelas bagi persma. Undang-Undang Pers tidak secara eksplisit memasukkan pers mahasiswa sebagai bagian dari media yang diakui, sehingga akses terhadap mekanisme perlindungan dan advokasi formal menjadi terbatas. Akibatnya, banyak kasus berakhir tanpa penyelesaian, sementara korban mengalami trauma atau memilih mundur dari aktivitas jurnalistik,” kata Arie Mega, Project Officer Jurnalisme Aman dalam paparannya.
Aparat pun bukan tanpa peran. Penangkapan persma saat peliputan aksi masih terjadi, seperti dialami CAKA Unhas pada 2024. Cerita ini kembali mengemuka dalam FGD, sebagai bukti bahwa kerja jurnalistik di lingkungan kampus belum dipandang sebagai bagian dari kebebasan akademik dan hak sipil.
Dari peserta, suara-suara pengalaman hadir dengan jujur dan emosional. M. Irham dari CAKA UNHAS menyebut pelatihan ini sangat penting karena memberikan kiat keamanan fisik dan digital yang selama ini sulit mereka dapatkan. Harapan dari LPM Objektif IAIN Kendari berharap kegiatan serupa terus dilakukan agar persma semakin berani dan jujur dalam bekerja.
Adapun Alang dari CAKA UNHAS melihat FGD ini sebagai ruang belajar yang kritis untuk menjaga idealisme dan keberanian. “Tantang tirani!” dalam testimoninya.
Sementara, peserta lain merasa bersyukur dipertemukan dengan jaringan persma dari berbagai kota, dan berharap aktivitas seperti ini dijadikan agenda tahunan.
Ada pula peserta yang baru memahami alur pelaporan kekerasan terhadap persma dan berharap kampus didorong mengeluarkan regulasi yang mengakui keberadaan pers mahasiswa sebagai bagian sah dari ekosistem akademik. Dari Nailul (Medkom) hingga Jellian (LPMH-UH), semua sepakat: diskusi ini membuka mata, menambah insight, dan memperkuat solidaritas.
Dalam FGD juga ditemukan kebutuhan persma antara lain SOP keamanan digital hingga regulasi kampus yang melindung kerja jurnalistik, jejaring nasional antar LPM, dan konsolidasi rutin dengan AJI serta LBH Pers.
”Namun, jangan hanya saat ada masalah saja, teman-teman persma datang ke AJI. Berjejaring dan konsolidasi rutin dengan kami. Kami selalu terbuka buat kawan-kawan,” ucap Darul dari AJI Makassar.
Dalam forum ini, Jurnalisme Aman memperkenalkan platform jurnalismeaman.com —sebuah pusat pengetahuan dan dukungan untuk keamanan jurnalis yang menyediakan modul, panduan, kanal pelaporan, serta jaringan advokasi. Platform ini diharapkan menjadi alat strategis bagi persma untuk bekerja secara profesional dan aman, bahkan ketika ruang kampus tidak memberikan perlindungan yang memadai.
FGD ditutup dengan komitmen kolaborasi: menguatkan jejaring, memanfaatkan platform JA, serta menjadikan pertemuan ini sebagai fondasi untuk memperbaiki ekosistem pers mahasiswa di wilayah Tengah dan Timur Indonesia.
”Journalism is not a crime — jurnalisme tidak boleh dibatasi dan merupakan salah satu pilar demokrasi,” tutur Arifah, dari HRWG.
Dari Makassar, suara persma kembali menemukan ruangnya: lebih berani, lebih kuat, dan lebih terkoneksi satu sama lain.